TGKH. M. Zainuddin Abd. Majid
Tuesday, May 9, 2017
Add Comment
Sejarah Pendiri Nahdlatul Wathan TGKH. M. Zainuddin Abd. Majid
A. KELAHIRAN TUAN GURU KYAI HAJI MUHAMMAD ZAINUDDIN ABDUL MADJID
- Kelahiran
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid yang nama kecilnya Muhammad Saggaf dilahirkan pada hari Rabu, 17 Rabi’ul Awal 1326 [1904 M] di Kampung Berini, Desa Pancor, Kecamatan Rarang Timur [Sekarang Kecamatan Selong] Lombok Timur Nusa Tenggara Barat.
Adalah Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid, yang namanya disingkat HAMZANWADI [Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah], yang akrab dipanggil Maulana Syaikh atau juga akrab dengan panggilan “Tuan Guru Pancor”, oleh para murid dan jamaahnya secara umum, semasa kecilnya diberi nama Muhammad Saggaf oleh ayahnya sendiri, yaitu Tuan Guru Haji Abdul Madjid.
Terdapat keunikan lain seputar kelahirannya, yaitu adanya cerita gembira yang di bawa oleh seorang wali, bernama Syaikh Ahmad Rifa’i yang juga berasal dari Maghrabi. Ia menemui Tuan Guru Haji Abdul Madjid menjelang kelahiran putranya. Syaikh Ahmad Rifa’i berkata kepada Tuan Guru Haji Abdul Madjid “Akan segera lahir dari istrimu seorang anak laki-laki yang akan menjadi ulama besar”.
Muhammad Saggaf adalah anak bungsu dari enam bersaudara, yaitu; Siti Sarbini, Siti Cilah, Hajah Saudah, Haji Muhammad Shabur dan Hajah Masyithah. Keenam putera-puterinya ini merupakan hasil perkawinan Tuan Guru Haji Abdul Madjid dengan seorang perempuan yang shalihah, berasal dari desa Kelayu Lombok Timur, bernama Inaq Syarn dan lebih dikenal dengan Hajah Halimatussa’diyah.
Nama Muhammad Saggaf masih disandangnya sampai ia berangkat ke Tanah Suci Makkah untuk melaksanakan ibadah haji bersama ayahnya. Setelah menunaikan ibadah haji, nama Muhammad Saggaf diganti menjadi Haji Muhammad Zainuddin oleh ayahnya sendiri.
Ikhwal penggantian nama ini, dilatar belakangi oleh ketertarikan ayahnya kepada nama seorang ulama yang memiliki kepribadian dan akhlak mulia, yaitu Syaikh Muhammad Zainuddin Senawak, seorang ulama di Masjid al-Haram. Sejak saat itu namanya kemudian berubah menjadi Haji Muhammad Zainuddin.
- Pernikahan dan Keluarga Besar
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid selama hayatnya telah menikah sebanyak tujuh kali. Dari ketujuh perempuan yang pernah dinikahinya itu, ada yang mendampinginya sampai wafat, ada yang wafat terlebih dahulu semasih ia hidup dan ada juga yang diceraikannya setelah beberapa bulan menikah. Di samping itu, ketujuh perempuan yang telah dinikahinya itu, berasal dari berbagai pelosok daerah di Lombok, dan dari berbagai latar belakang. Ada yang berasal dari keluarga biasa dan ada pula yang berlatar belakang bangsawan, seperti istrinya yang bernama Hajah Baiq Siti Zuhriyah Mukhtar, berasal dari Desa Tanjung, Kecamatan Selong.
Adapun nama-nama perempuan yang pernah dinikahi oleh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, adalah: 1] Chasanah; 2] Hajah Siti Fatmah; 3] Hajah Raihan; 4] Hajah Siti Jauhariyah; 5] Hajah Siti Rahmatullah; 6] Hajah Baiq Siti Zuhriyah Mukhtar; dan, 7] Hajah Adniyah.
Selanjutnya dari ketujuh orang perempuan yang dinikahinya, Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, hanya mendapatkan dua orang puteri, yakni Siti Rauhun dari perkawinannya dengan Hajah Siti Jauhariyah dan Siti Raihanun dari perkawinannya dengan Hajah Siti Rahmatullah.
Hajah Siti Jauhariyah adalah seorang perempuan yang tenkenal cantik, hingga pada masa gadisnya, onang sering menyebutnya sebagai “Kembang dari Kampung Jawa”. Disebut demikian karena ia adalah puteri dari perkawinan antara seorang wanita Selong yang bernama Masnah dan pria berasal dan Jawa yang bernama Abdurrahim. Abdurrahim adalah seorang muballigh yang mengembangkan ajaran Islam di Kampung Jawa. Tugas sehari-harinya adalah sebagai seorang pejabat pemerintah pada waktu itu.
Hajah Siti Jauhariyah dipersunting oleh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid pada usia yang sangat muda, yaitu ketika berusia 12 tahun. Setelah menikah pasangan ini tidak langsung tinggal serumah. Mereka baru tinggal serumah setelah Hajah Siti Jauhariyah berusia 19 tahun.
Pada tahun 1947, ketika Siti Jauhariyah telah berusia sekitar 20 tahun, ia dinyatakan positif hamil. Kehamilan ini disambut dengan senang dan gembira, karena setelah lama menikah Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zaiuddin belum juga diberikan keturunan oleh Allah SWT. Ia bahkan pernah dikatakan mandul dan tidak akan mendapatkan keturunan.
Mendengar informasi kehamilan Siti Jauhariyah, Tuan Guru Kyai Muhammad Zainuddin segera datang ke rumahnya untuk menantikan saat-saat kelahiran anak pertamanya. Pucuk dicinta ulam tiba. Jabang bayi yang ditunggu-tunggu lahir dengan selamat dan berjenis kelamin perempuan. Ia kemudian diberi nama Siti Rauhun. Nama tersebut diambil dari bahasa Arab yang artinya “kegembiraan/ kenikmatan”.
Sedangkan puteri keduanya diberi nama Siti Raihanun, yang akrab dipanggil Ummi Raihanun. Sebagaimana disebutkan di atas, puteri kedua adalah buah dari perkawinannya dengan Hajah Siti Rahmatullah.
Siti Rahmatullah adalah puteri dan Guru Hasan, seorang imam khatib di Masjid distrik Rarang. Perkenalan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin dengan Siti Rahmatullah tenjadi ketika pada suatu hari ayahnya datang bersilaturrahmi ke rumah Guru Hasan di Rarang. Saat itulah ia mengutarakan keinginannya untuk menikahkan puteranya dengan puteri Guru Hasan.
Karena waktu itu Siti Rahmatullah masih sangat kecil dan belum mempunyai keinginan sama sekali untuk menikah, Tuan Guru Haji Abdul Madjid hanya berjanji akan menikahkan puteranya dengan Siti Rahmatullah. Semenjak itu hubungan di antara kedua keluarga ini terbangun dengan sangat erat. Setiap tahun Tuan Guru Haji Abdul Madjid bersilaturrahmi ke Rarang, demikian pula sebaliknya. Setelah mencapai usia yang cukup, barulah keduanya dinikahkan. Dan dari pernikahan ini kemudian lahir seorang puteri yang diberi nama Siti Raihanun.
Adapun dari istrinya yang lain, ia tidak mendapatkan keturunan, baik putra ataupun putri. Dan karena hanya mempunyai dua orang puteri yang bernama Siti Rauhun dan Raihanun, ia juga populer dengan sebutan “Abu Rauhun wa Raihanun”.
Beliau mengakui bahwa nama kedua puterinya diambil dari Al-Qur’an Surat Al-Waqi’ah ayat 89 yang berbuyi “Fa rauhun wa raiharnen wajannatu na’im”, [maka dia memperoleh ketenteraman dan rezeki serta sorga kenikmatan].
Dari kedua orang putrinya, ia mendapatkan banyak cucu dan keturunan. Dari Siti Rahun ia memperoleh enam orang cucu, yaitu: 1] Siti Rahmi Jalilah; 2] Syamsul Lutfi; 3] M. Zainul Majdi; 4] M. Jamaluddin; 5] Siti Suraya; dan, 6] Siti Hidayati.
Sedangkan cucunya yang lalir dari Siti Raihanun, sebanyak tujuh orang putra dan putri, yaitu: 1] Lalu Gede Wiresakti Amir Murni; 2] Lale Laksemining Puji Jagat; 3] Lalu Gede Syamsul Mujahidin; 4] Lale al Yaqutunnafis; 5] Lale Syifa’un Nufus; 6] Lalu Gede Zainuddin al-Tsani; dan, 7] Lalu Gede Muhammad Fatihin.
Keluarga Besar Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid
PENGEMBARAAN MENUNTUT ILMU
A. PENDIDIKAN FORMAL DI LOMBOK DAN BERGURU PADA KYAI LOKAL
Pengembaraan Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menuntut ilmu pengetahuan berawal dari pendidikan di dalam keluarga, yakni dengan belajar mengaji [membaca Al Qur’an] dan berbagai ilmu agama lainnya, yang diajarkan langsung oleh Ayahnya, Tuan Guru Haji Abdul Madjid. Pendidikan yang didapatkan dari Ayahnya ini, dimulai sejak berusia 5 tahun. Baru setelah berusia 9 tahun ia memasuki pendidikan formal pada sebuah sekolah umum yang disebut Sekolah Rakyat Negara [Sekolah Gubernemen] di Selong Lombok Timur.
Setelah menamatkan pendidikan formalnya pada Sekolah Rakyat Negara pada tahun 1919 M, ia kemudian diserahkan oleh ayahnya untuk belajar ilmu pengetahuan agama yang lebih luas lagi pada beberapa kiyai lokal saat itu, antara lain Tuan Guru Haji Syarafuddin dan Tuan Guru Haji Muhammad Sa’id dari Pancor serta Tuan Guru Abdullah bin Amaq Dulaji dari Kelayu Lombok Timur. Dari beberapa kyai lokal ini, Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin selain mempelajari ilmu-ilmu agama dengan menggunakan kitab-kitab Arab Melayu, juga secara khusus mempelajani ilmu-ilmu gramatika bahasa Arab, seperti ilmu Nahwu dan Sharf.
Menjelang musim haji tahun 1341 [1923 M], Muhammad Saggaf yang saat itu telah mencapai usia 15 tahun, berangkat ke Tanah Suci Makkah dengan diantar langsung oleh ayah dan ibunya bersama tiga orang adiknya, yaitu: H. Muhammad Faishal, H. Ahmad Rifa’i dan seorang kemenakannya. Bahkan ikut serta dalam rombongan ini, salah seorang gurunya, yaitu Tuan Guru Haji Syarafuddin dan beberapa anggota keluarga dekat lainnya.
B. BELAJAR DI TANAH SUCI MAKKAH
Masa Belajar
Ketika sampai di Makkah Zainuddin Muda belajar pertama kali pada Syeikh Marzuki, Syeikh Marzuki adalah seorang keturunan Arab kelahiran Palembang. Ia sudah lama tinggal di Makkah dan mengajar mengaji di Masjidil Haram.
Beliau mempelajani ilmu sastra dengan spesifikasi syair-syair Arab kepada ahli syair terkenal di Makkah, yakni Syaikh Muhammad Amin al-Kutbi. Pada saat itulah ia berkenalan dengan Sayyid Muhsin al-Palembani, seorang keturunan Arab kelahiran Palembang. Ternyata ia kemudian menjadi gurunya di Madrasah al-Shaulatiyah. Sayyid Muhsin juga pendiri Madrasah Darul Ulum yang saat itu amat terkenal di Makkah dan sebagian besar muridnya berasal dari Indonesia.
Dua tahun setelah terjadinya huru hara di Tanah Suci Makkah, stabilitas keamanan relatif terkendali. Pada saat itu Muhammad
Zainuddin berkenalan dengan seseorang yang bernama Haji Mawardi dari Jakarta. Dari perkenalan itu, Zainuddin diajak untuk masuk belajar di sebuah madrasah legendaris di Tanah Suci, yakni Madrasah al-Shaulatiyah. Madrasah ini didirikan pada tahun 1219 H, oleh seorang ulama besar imigran India, yaitu Syaikh Rahmatullah Ibnu Khalil al-Hindi al-Dahlawi. Madrasah ini adalah madrasah pertama sebagai permulaan sejarah baru dalam dunia pendidikan di Saudi Arabia. Gaungnya telah menggema ke seluruh dunia dan telah menghasilkan banyak ulama-ulama besar dunia.
Muhammad Zainuddin masuk di madrasah ini, pada tahun 1345 H [1927 M], Madrasah al-Shaulatiyah di bawah pimpinan cucu dari pendirinya, yaitu Syaikh Salim Rahtnatullah. Petama kali masuk, ia diantar oleh Haji Mawardi dan langsung menghadap kepada Syaikh Salim Rahmatullah selaku pimpinan [Mudir/ Direktur]. Pada hari pertama masuknya, ia bertemu dengan Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath yang nantinya akan menjadi gurunya yang hubungannya paling dekat. Di sana juga ia bentemu Syeikh Sayyid Muhsin al-Musawa, diantara temannya sewaktu belajan syair pada Syeikh Sayyid Amin al-Kutbi, yang ternyata juga sebagai salah seorang guru di madrasah ini.
Setiap thullab baru yang masuk, harus mengikuti tes masuk untuk menentukan kelas yang tepat dan cocok bagi thullab baru tersebut. Demikian juga dengan Muhammad Zainuddin, ia diuji juga terlebih dahulu. Dan secara kebetulan ia langsung diuji oleh Mudir al-Shaulatiyah sendiri, yaitu Syaikh Salim Rahmatullah dan Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath.
Akhirnya, Syeikh Hasan Muhammad al-Masysyath menentukannya masuk di kelas III. Padahal ilmu Nahwu-Sharaf yang belum dikuasai diajarkan di kelas II. Mendengar keputusan tersebut, ia meminta agar diperkenankan masuk kelas II, dengan alasan ingin mendalami mata pelajaran Nahwu-Sharaf. Walau pada awalnya Syeikh Hasan bersikeras dengan keputusannya, namun argumentasi Muhammad Zainuddin membuatnya berfikir kembali. Kemudian ia mengabulkan permohonan sang murid. Maka resmilah ia diterima di kelas II.
Ketekunannya dalam belajar membuahkan hasil. Beberapa orang gurunya mengakui ia tergolong murid yang cerdas. Syaikh Salim Rahmatullah selalu mempercayakan kepadanya untuk menghadapi Penilik Madrasah pemerintah Saudi yang seringkali datang ke madrasah itu, Penilik madrasah itu menganut faham Wahabi. Dan ia satu-satunya murid Madrasah al-Shaulatiyah yang dianggap menguasai faham Wahabi. Pentanyaan Penilik itu biasanya menyangkut soal-soal hukum ziarah kubur, tawassul kepada Anbiya’ dan Auliya’, bernazar menyembelih kambing berbulu hitam atau putih dan sebagainya. Dan ia selalu berhasil menjawab pertanyaan Penilik itu dengan memuaskan.
Ketekunannya dalam belajar dan bendiskusi juga diakui oleh salah seorang teman sekelasnya di Madrasah al-Shaulatiyah tersebut, yaitu Syaikh Zakaria Abdullah Bila, seorang ulama besar di Tanah Suci Makkah. Ia mengatakan: “saya teman seangkatan Syaikh Zainuddin, saya telah bengaul dekat dengannya beberapa tahun. Saya sangat kagum padanya. Dia sangat cerdas, akhlaknya mulia. Dia sangat tekun belajar, sampai-sampai jam keluar mainpun diisinya menekuni kitab pelajaran dan berdiskusi dengan kawan-kawannya.”
Prestasi akademiknya sangat membanggakan. Ia berhasil meraih peringkat pertama dan juara umum. Di samping itu, dengan kecerdasan yang luar biasa, ia berhasil menyelesaikan studinya dalam kurun waktu 6 tahun. Padahal lama belajar normal adalah selama 9 tahun, yaitu mulai dari kelas I sampai dengan kelas IX. Dari kelas II, ia langsung ke kelas IV. Tahun berikutnya ke kelas VI, dan kemudian pada tahun-tahun berikutnya secara berturut-turut naik ke kelas VII, VIII dan IX.
Dengan tingkat kecerdasan [IQ] yang sangat tinggi ini, Syaikh Zakaria Abdullah Bila mengatakan, “Syeikh Zainuddin itu adalah manusia ajaib di kelasku, karena kegeniusannya yang sangat tinggi dan luar biasa, saya sungguh menyadari hal ini. Syaikh Zainuddin adalah saudaraku, karibku, dan kawan sekelasku. Saya belum pernah mampu mengunggulinya dan saya tidak pernah menang dalam berprestasi dikala saya dan dia bersama-sama dalam satu kelas di Madrasah As-Saulatiyah Makkah.”
Lebih jauh Syaikh Zakaria menceritakan: “Pernah sehari sebelum ujian, saya mengambil sebuah kitab di perpustakaan secara diam-diam dan membawanya pulang Kitab itu hanya satu di perpustakaan, yang berisi mata pelajaran yang akan diujikan esok harinya. Hal ini saya lakukan dengan sengaja agar Syaikh Zainuddin tidak bisa menelaahnya, sehingga dalam ujian nanti dapat mengalahkannya. Ternyata keesokan harinya dalam ujian, dia benhasil menjawab semua, pertanyaan dengan sangat baik dalam bentuk syair [puisi] dalam bahasa Arab.”
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid berhasil menyelesaikan studinya di Madrasah al-Shaulatiyah Makkah pada tahun 1351 H. [1933 M] dengan predikat istimewa [Mumtaz]. Predikat istimewa tersebut disertai pula dengan perlakuan yang istimewa dari Madrasah al-Shaulatiyah.
Ijazahnya ditulis tangan langsung oleh seorang ahli khat terkenal di Makkah saat itu, yaitu al-Khathath al-Syaikh Dawud al-Rumani atas usul dari Direktur Madrasah al-Shaulatiyah. Kemudian ijazah tersebut ditanda tangani oleh beberapa orang gurunya. Ijazah tersebut diserah terimakan kepadanya pada tanggal 22 Dzulhijjah 1353 H.
Setelah tamat di Madrasah al-Shauladyah, ia tidak langsung pulang ke Indonesia. Tetapi bermukim lagi di Makkah selama 2 tahun sambil menunggu adiknya yang masih belajar yaitu Haji Muhammad Faishal. Dua tahun ini dimanfaatkannya untuk belajar, antara lain belajar ilmu Fiqh kepada Syaikh Abdul Hamid Abdullah al-Yamani.
Dengan demikian, waktu belajar yang ditempuh di Tanah Suci Makkah adalah selama 13 kali musim haji atau kurang lebih 12 tahun. Berarti sampai pulang ke kampung halamannya, ia sempat mengerjakan ibadah haji sebanyak 13 kali.
Guru-gurunya di Masjid al Haram dan Madrasah al-Shaulatiyah
Selama dalam pengembaraannya menuntut ilmu pengetahuan di Tanah Suci, dan Masjid al-Haram hingga Madrasah al-Shauladyah, ia telah menuntut ilmu dari beberapa orang guru. Mereka adalah sebagai berikut :
1. Maulana wa Munabbina Abul Barakat al-Ushuli al-Muhaddits al-Shufi al-Syaith Hasan Muhammad al-Masysyath al-Maliki
2. A1-’Allamah al-Syaikh Umar Bajunaid al-Syafi’i;
3. A1-’Allamah al-Syaikh Muhammad Sa’id al-Yamani al-Syafi’i;
4. A1-’Allamah al-Kabir al-Mutafannin Sibawaihi Zamanihi al-Syaikh Ali al-Maliki;
5. A1-’Allamah al-Syaikh Marzuqi al-Palimbani;
6. A1-’Allamah al-Syaikh Abu Bakar al-Palimbani;
7. Al-’Allamah al-Syaikh Hasan Jambi al-Syafi’i;
8. A1-’Allamah al-Syaikh Abdul Qadir al-Mandaili al-Syafi’i;
9. Al-’Allamah al-Syaikh Mukhtar Batawi al-Syafi’i;
10. A1-’Allamah aI-Syaikh Abdullah al-Bukhari al-Syafi’i;
11. A1-’Allamah al-Muhaddits al-Kabir al-Syaikh Umar Hamdan al-Mihrasi al-Maliki;
12. A1-’Allamah Muhaddits al-Syaikh Abdus Sattar al-Shiddiqi Abdul Wahab al-Kuthi al-Maliki;
13. A1-’Allamah al-Kabir al-Syaikh Abdul Qadir al-Syibli al-Hanafi;
14. A1-’Allamah al-Adib al-Syaikh al-Sayyid Muhammad Amin al-Kutbiall-hanafi;
15. Al-Syaikh Muhsin al-Musawa al-Syafi’i;
16. Al-’Allamah al-Falaki al-Syaikh Khalifah al-Maliki;
17. Al-’Allamah al-Jalil al-Syaikh Jamal al-Maliki;
18. A1-’Allamah al-Syaikh al-Shalih Muhammad Shalih al-Kalantani al-Syafi’i;
19. A1-‘Allamah al-Sharfi al-Syaikh Mukhtar Makhdum al-Hanafi;
20. Al-’Allamah al-Syaikh Salim Cianjur al-Syafi’i;
21. A1-’Allamah al-Syaikh al-Sayyid Ahmad Dahian Shadaqi al-Syafi’i;
22. A1-’Allamah al-Mu’arnikh al-Syaikh Salim Rahmatullah al-Malild;
23. A1-’Allamah al-Syaikh Abdul Gani al-Maliki;
24. A1-’Allamah al-Syaikh al-Sayyid Muhammad Arabi al-Tubani al Jazairi al-Maliki;
25. A1-’Allamah al-Syaikh Umar al-Faruq al-Maliki;
26. Al-’Allamah al-Syaikh al-Wa’idh al-Syaikh Abdullah al-Fans;
27. A1-’Allamah al-Syaikh Malla Musa;
Di dalam mengkaji atau mempelajari berbagai disiplin ilmu agama, ia rnempelajarinya sesuai dengan konsentrasi dan spesialisasi dan masing-masing guru. Untuk ilmu Tajwid, A1-Qur’an, dan Qira’at al-Saba’ah, ia belajar pada:
1. A1-’Allamah al-Syaikh Jamal Mirdad;
2. A1-’Allamah al-Syaikh Umar Arba’in;
3. A1-’Allamah al-Syaikh Abdul Lathif Qari’;
4. A1-’Allamah al-Syaikh Muhammad ‘Ubaid.
Sementara pada disiplin ilmu Fiqh, Tashawwuf, Tauhid, Ushul Fiqh dan Tafsir, beliau belajar pada:
1. A1-’Allamah al-Syaikh Umar Bajunaid al-Syafi’i;
2. A1-’Allamah al-Syaikh Muhammad Sa’id al-Yamani;
3. A1-’Allamah al-Syaikh Mukhtar Batawi;
4. A1-’Allamah al-Syaikh Abdul Qadir al-Mandaili;
5. A1-’Allamah al-Faqih al-Syaikh Abdu1 Hamid Abdur Rabb al-Yamani;
6. A1-’Allamah al-Sayyid Muhsin al-Musawa;
7. A1-’Allamah al-Adib al-Syaikh Abdullah al-Lahaji al-Farisi;
Pada disiplin ilmu ‘Arudl [syair bahasa Arab], ia belajar pada:
1. A1-’Allamah al-Syaikh Abdul Ghani al-Qadli;
2. A1-’Allamah al-Adib al-Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi;
Pada disiplin ilmu Falak beliau belajar pada:
1. A1-’Allamah Kiyai Salim Cianjur;
2. A1-’Allamah al-Falaki al-Syaikh Khalifah;
3. A1-’Allamah al-Sayyid Ahmad Dahlan;
Pada disiplin ilmu Hadits, Mushthalah al- Hadits, Mushthalah at-Tafsir, Fara’idh, Sirah/ Tarikh, dan berbagai ilmu gramatika bahasa Arab [Nahwu, Sharf], ia belajar pada:
1. A1-’Allamah al-Kabir al-Mutafannin Sibawaihi Zamanihi al-Syaikh Ali al-Maliki;
2. A1-’Allamah al-Jalil al-Syaikh Jamal al-Maliki;
3. A1-’Allamah al-Mubaddits al-Kabir al-Syaikh umar Hamdan;
4. A1-’Allamah al-Syaikh Abdullah al-Bukhari al-Syafi’i;
5. Maulana wa Murabbina Abi al-Barakat al-’Allamah Ushuli al-Muhaddits al-Shufi al-Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath Maliki;
6. Al-Sharfi al-Mahir al-Syaikh Mukhtar Makhdum al-Hanafi;
7. A1-’Allamah al-Syaikh al-Sayyid Muhsin al-Musawa;
8. A1-’Allamah al-Adib al-Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi al- Hanafi;
9. A1-’Allamah al-Syaikh Umar al-Faruq al-Maliki;
10. A1-’Allamah al-Kabir al-Syaikh Abdul Qadir al-Syalabi al-Hanafi;
Pada ilmu ‘Awrad, ia belajar pada:
1. A1-’Allamah Kiyai Falak Bogor;
2. A1-’Allamah al-Syaikh Malla Musa al-Maghrabi;
Sedangkan pada disiplin Ilmu al-Khath [Kaligrafi bahasa Arab, Ia belajar pada:
1. Al-Khaththath al-Syaikh Abdul Aziz Langkat;
2. A1-Khaththath al-Syaikh Muhammad al-Rais al-Maliki;
3. A1-Khaththath al-Syaikh Daud al-Rumani al-Fathani.
Jika diklasifikasikan guru-gurunya berdasarkan latar belakang mazhab yang berbeda, maka akan terlihat katagorisasi mazhab sebagai berikut:
1. 11 orang bermadzab Syafi’i;
2. 6 orang bermadzab Hanafi; dan
3. 11 orang bermadzab Maliki.
Berdasarkan katagorisasi mazhab di atas terlihat bahwa semua gurunya masih berada dalam satu faham teologis, yakni faham Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Dengan kata lain, bahwa tidak ada seorangpun gurunya yang menganut faham yang berbeda, seperti Mu’tazilah, Syi’ah ataupun Wahabi.
Dalam konteks menuntut ilmu, khususnya ilmu-ilmu agama yang bersifat praktis, Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menekankan pemenuhan aspek-aspek moralitas, seperti sikap efektif dalam memilih guru dan sikap hormat terhadap guru. Keduanya merupakan jalinan sinergis yang bermuara pada kemanfaatan ilmu. Dalam terminologi agama, kemanfaatan ini dikenal dengan istilah barakah, yang secara etimologi berarti ziyadah al-khairi fi al asyya’ ‘ala ma tsabata fiha al khair [bertambahnya kebaikan pada sesuatu yang mengandung unsur kebaikan].
MASA PENGABDIAN DI TANAH AIR
1. Membuka Pesantren Al-Mujahidin Dan Pengajian Umum
Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid setelah selarna 12 tahun menuntut ilmu di Tanah Suci Makkah al-Mukarramah, diperintah gurunya, Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath kembali ke kampung halamannya di Indonesia untuk menyebarkan ilmu pengetahuan dan mendorong terbentuknya tatanan moralitas dan akhlaq yang mulia di kalangan saudara seiman dan masyarakat pada umumnya. Perintah gurunya ini, sempat ditolaknya dengan mengemukakan argumentasi, bahwa ia masih ingin tetap belajar, bahkan ia ingin tetap tinggal dan mengabdi di Tanah Suci saja. Namun gurunya tetap menolak argumentasinya itu, karena peranannya di Indonesia akan lebih bermanfaat bagi pengembangan keilmuan dan pemberdayaan terhadap masyarakat, dibandingkan jika ia tetap berada di Makkah.
Setelah sampai di tanah kelahirannya, masyarakat langsung mempercayainya sebagai imam dan khatib. Jabatan sebagai imam dan khatib pada saat itu merupakan posisi yang penting dalam masyarakat, setidaknya, karena posisi tersebut umumnya diisi oleh seseorang yang memiliki kapabilitas keilmuan yang tinggi, atau biasa disebut “Tuan Guru” dalam kultur masyarakat Lombok.
Disamping menjadi imam dan khatib, ia juga banyak melakukan safari dakwah ke berbagai tempat di pulau lombok, sehingga ia mulai dikenal secara luas oleh masyarakat. Masyarakat menyebutnya sebagai seorang anak muda ‘alim yang memiliki integritas keilmuan, sehingga ia disebut dengan “Tuan Guru Bajang”.
Sebutan Tuan Guru Bajang diperoleh setelah melalui serangkaian proses uji di tengah-tengah masyarakat. Sekedar contoh, Tuan Guru Haji Mukhtar dari Mamben tidak dengan serta merta mengamini sebutan tersebut. Ia melakukan verifikasi terlebih dahulu dengan sejumlah pertanyaan sebagai test case terhadap kapabilitas keilmuannya. Setelah memperoleh jawaban-jawaban yang memuaskan, maka Tuan Guru Haji Mukhtar mengakui kemampuannya, bahkan bertekad untuk mengirim anggota keluarganya untuk menimba ilmu padanya.
Setelah mempunyai reputasi di masyarakat, ia kemudian mendirikan pesantren al-Mujahidin pada tahun 1934 M. sebagai tempat pembelajaran agama secara langsung bagi kaum muda. Pendirian ini dilatar belakangi oleh keinginan untuk memberikan pelajaran agama yang lebih bermutu kepada masyarakat, karena pada saat itu umumnya para tuan guru dalam mengajarkan agama lebih banyak menggunakan kitab-kitab Arab Melayu, seperti Bidayah, Perukunan, dan Sabil al-Muhtadin.
Pada awalnya Pesantren al-Mujahidin menerapkan sistem pembelajaran dengan metode halaqah. Namun kemudian sistem ini dipandang kurang efektif, karena pertama, sulitnya mengukur tingkat keberhasilan prestasi santri, dan kedua, tidak dapat mengawasi secara maksimal proses pembelajaran yang efektif. Akan tetapi, untuk menggantinya dengan sistem klasikal murni, masih menghadapi kendala, terutama pada persoalan kategori usia santri. Untuk itulah maka ia memperkenalkan sistem semi klasikal, dengan gambaran ada beberapa perangkat kelas, seperti papan tulis, sementara para santri tetap duduk di lantai dengan bersila. Di samping itu, masih belum ada pembatasan usia.
Sistem semi klasikal ini, ternyata menarik perhatian masyarakat setempat dan juga sangat di senangi oleh para santri. Hingga dalam waktu yang singkat telah terdaftar ± 200 orang santri. Para santri tidak saja berasal dari desa Pancor, tetapi juga dari luar. Melihat fenomena ini, ayahnya langsung nembuat lokal-lokal kelas darurat di serambi dan di belakang rumahnya. Prosesi belajar mengajar di pesantren ini, berlangsung dari pukul 05.00 – 06.00 WIT, yang dikhususkan untuk masyarakat dari kalangan orang-orang tua. Mereka juga disediakan waktu pada malam hari. Adapun untuk anak-anak muda pelajaran dimulai dari jam 14.00 – 17.00 WIT.
Reputasinya semakin menjulang di kalangan masyarakat, sehingga ia diminta untuk memberikan pengajian tetap di Masjid Jami’ Pancor, Lombok Timur. Pengajian tersebut dimulai dari jam 09.00 – 12.00 WIT [sampai tiba waktu dzuhur]. Pengajian tersebut dihadiri oleh masyarakat luas, dari kalangan tua, muda dan bahkan para tuan guru, seperti Tuan Guru Haji Abu Bakar Sakra, Abu Atikah, Tuan Guru Haji Azhar Rumbuk, Raden Tuan Guru H. Ibrahim Sakra, dan lain-lain. Bahkan juga hadir gurunya yang bernama Tuan Guru Haji Syarafuddin dari Pancor, turut juga dalam pengajian tersebut Haji Ahmad Jemberana dari Bali.
Kitab-kitab yang dikaji dalam pengajian tersebut adalah kitab Minhaj al-Thalibin, Jam’al al-Jawami, Qatr al-Nada,Tafsir al-Jalalain dan lain-lainnya dari kitab-kitab Fiqih dan Tafsir.
MENDIRIKAN MADRASAH NAHDLATUL WATHAN DINIYAH ISLAMIYAH [NWDI]
Keberhasilan TGH. Zainuddin dalam memberikan pengajian menimbulkan banyak iri dari orang lain yang merasa tersaingi, berbagai cobaan, tantangan, dan berbagai reaksi minor dari masyarakat belum reda, maka ada sebuah harapan datang, ketika seorang familinya, Haji Syazali menawarkan tanahnya menjadi tempat pendirian madrasah. Tawaran tersebut diterima dengan senang hati.
Untuk merespon tawaran tersebut, Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, kalangan keluarganya dan tokoh-tokoh masyarakat bermusyawarah untuk merealisasikan cita-cita mendirikan madrasah. Fisik bangunan madrasah pada awalnya tendiri dari 10 [sepuluh] lokal kelas yang terdiri dari: 2 [dua] lokal untuk Bustan al-Athfal, 7 [tujuh] lokal untuk ruang belajar; dan 1 [satu] lokal untuk ruang guru/kantor. Bangunannya sangat sederhana, bendinding pagar, dengan tiang bambu dan beratap genteng.
Setelah pembangunan fisik madrasah dianggap selesai dan telah dirumuskan berbagai persiapan untuk aktifitas belajar-mengajar, maka Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid mengajukan sebuah permohonan pendirian madrasah kepada pemerintah Hindia Belanda Kontrober Oost Lombok di Selong Lombok Timur. Kemudian pemerintah Belanda memberikan surat izin akte pendirin madrasah tersebut pada tanggal 17 Agustus 1936 M. Selanjutnya selang satu tahun berikutnya, yakni pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H, yang bertepatan dengan tanggal 22 Agustus 1937 madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah lslamiyah [NWDI] diresmikan.
Bagi Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, tanggal 17 Agustus 1936 di atas memiliki makna signifikan dan monumental, karena 9 [sembilan] tahun kemudian, yakni tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Kondisi ini merupakan hikmah tersendiri dalam perjalanan sejarah Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyyah Islamiah.
Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah sebagai nama madrasah, adalah nama yang berasal dari bahasa Arab. Secana etimologis, Nahdlah, berarti penjuangan, kebangkitan, dan pergerakan. Wathan, berarti tanah, bangsa atau negara. Sedangkan Diniyah Islamiyah, berarti agama Islam. Nama tersebut merefleksikan suasana psikologis dan kondisi sosial pada saat itu, terutama yang berkaitan dengan jargon-jargon jihad’ [penjuangan] untuk menggelorakan semangat patriotisme dalam melakukan perlawanan terhadap penetrasi kolonialisme Belanda dan Jepang, serta upaya memberdayakan pendidikan untuk mencerdaskan masyarakat yang sedang terpuruk dan terbelakang.
Dalam operasionalisasinya, Madrasah NWDI pada mulanya diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yaitu: tingkat Ilzamiyah, Tahdhiriyah dan Ibtida’iyah. TingkatIlzamiyah adalah tahap pernsiapan dengan lama belajar satu tahun. Murid-murid pada tingkatan ini terdiri dari anak-anak yang belum mengenal huruf Arab dan huruf latin. Tingkat Tahdhiriyah adalah kelanjutan dari tingkatIlzamiyah dengan lama belajar tiga tahun. Murid-muridnya selain berasal dari lulusan tingkat Ilzamiyah, juga diterima lulusan dari sekolah dasar [Volgschool]. Materi pelajaran yang diberikan adalah tauhid, fiqh, dan pengetahuan dasar Qawa’id al-Lughah al-Arobiyyah. Sedangkan tingkat Ibtida’iyah adalah tingkatan terakhir setelah Tahdhiriyah dengan lama belajar empat tahun. Tingkatan ini selain menerima murid dari lulusanTahdhiriyah, juga menerima dari lulusan sekolah dasar [volgschool]. Materi pelajaran pada tingkatan ini difokuskan pada materi Kitab Kuning, seperti Nahwu, Sharf Balaghah, Ma’ani, Badi’, Bayan, Manthiq, Ushul al-Fiqh, Tashawwuf dan lain-lain. Khusus pada kelas tenakhir [rabi’ ibtida’iy], semua pelajaran agama mengacu kepada kurikulum madrasah al-Shaulatiyyah. Aktivitas belajar mengajar pada semua tingkatan dimulai dari pukul 07.30 – 13.00 WITA.
Madrasah ini selanjutnya terus mengalami kemajuan dan perkembangan sehingga oleh pendirinya pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H, bertepatan dengan tanggal 22 Agustus 1937 M, dipandang sebagai momentum kemenangan moral perjuangan menegakkan syiar Islam. Sehingga saat itu dan setiap tahunnya diperingati sebagai hari ulang tahun berdirinya madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah yang kemudian populer disebut dengan HULTAH NWDI.
Berdirinya madrasah NWDI di Pancor, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, pada tahun 1937, mencatat sejarah baru dalam perkembangan pendidikan Islam di Nusa Tenggara Barat. Paling tidak dengan penerapan sistem klasikal dan klasifikasi siswa berdasarkan tingkatan, maka orang mulai mengenal pendidikan Islam dengan sistem klasikal dan berjenjang, sebagaimana pendidikan umum, seperti Sekolah Rakyat, atau sekolah-sekolah yang didirikan pada masa kolonial. Atas dasar inilah, madrasah ini dipandang sebagai pelopor pendidikan Islam modern di NTB.
MENDIRIKAN MADRASAH NAHDLATUL BANAT DINIYAH ISLAMIYAH [NBDI]
Berangkat dari kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh Madrasah NWDI, kemudian melahirkan gagasan untuk mendirikan lembaga pendidikan agama yang dikhususkan untuk kaum perempuan. Karena, pada masa Pesantren Al-Mujahidin, mereka juga mendapat kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki.
Gagasan mendirikan madrasah dimaksud dilatar belakangi oleh kondisi sosial perempuan pada saat itu yang tersubordinasi oleh hegemoni kaum laki-laki. Padahal keberadaannya memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Bentuk peranan aktual perempuan dalam konteks kehidupan bermasyarakat dimulai dan peranannya sebagai ibu rumah tangga dalam lingkup keluarga. Peranan ini memiliki signifikansi dalam pembentukan karakter keluarga, seperti pendidikan anak, yang akhirnya menentukan karakter masyarakat dalam lingkup yang lebih luas.
Di sisi lain, gagasan pendirian madrasah khusus untuk kaum perempuan ini, merupakan pengejawantahan dari hadits Rasulullah SAW mengenai kewajiban menuntut ilmu bagi kaum perempuan sama dengan kewajiban bagi kaum laki-laki.
Sebagai realisasi dari pemikiran-pemikiran tersebut, maka pada tanggal 15 Rabi’ul akhir 1362 H bertepatan dengan tanggal 21 April 1943, resmilah berdiri sebuah madrasah khusus kaum perempuan yang diberi nama dengan Madrasah Nahdlatul Banat Diniyyah Islamiyyah [NBDI].
Seperti halnya Madrasah NWDI, Madrasah NBDI juga memiliki makna khusus bagi pendirinya. Setidaknya karena tanggal dan bulan berdirinya dikemudian hari dikenal sebagai hari Kartini sebagai tonggak bagi kebangkitan peran aktualisasi perempuan di Indonesia. Dalam operasionalisasinya, Madrasah NBDI dipimpin langsung oleh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, dan dibantu oleh Ustaz Lalu Faishal, Ustaz Lalu Wildan, Ustaz Dahmuruddin Mursyid, dan lain-lain.
Pada awalnya, Madrasah NBDI dipusatkan di lokasi pesantren al-Mujahidin pada sebuah bangunan yang terdiri dari tiga buah local, dengan waktu belajar dari pukul 13.30 – 17.00 WITA. Sementara materi pelajarannya mengacu kepada kurikulum Madrasah NWDI.
DINAMIKA PERJALANAN MADRASAH NWDI DAN NBDI
Setelah posisi kedua madrasah induk itu semakin mantap, ditambah berkembangnya cabang-cabang di berbagai daerah, maka Madrasah NWDI dan NBDI melakukan upaya-upaya pengembangan konstruktif dalam bidang kurikulum, jenjang, dan jenis madrasah sesuai dengan perkembangan zaman.
Pada mulanya, semua kurikulum dan jenjang madrasah disesuaikan dengan sistem yang berlaku di Madrasah al-Shaulatiyyah Makkah. Namun pada tahun 1951, tingkatTahdhiriyah ala Makkah itu di reformulasi menjadi Ibtida’iyah ala Indonesia, yaitu Madrasah Ibtidaiyah 6 tahun, dengan kompisisi 60 % pengetahuan agama dan selebihnya, yaitu 40 % diberikan pengetahuan umum. Dan sebagai kelanjutannya, pada tanggal 2 November 1952 dibuka Sekolah Menengah Islam [SMI] dengan lama belajar tiga tahun. Pada tahun yang sama, dibuka pula Madrasah Mu’allimin 4 tahun, Madrasah Mu’allimat 4 tahun, dan Pendidikan Guru Agama Pertama [PGAP]. Seperti halnya tujuan pendirian SMI, madarasah dan sekolah ini juga bertujuan menampung lulusan Madasarah Ibtida’iyah 6 tahun.
Selanjutnya pada tahun 1955/1956 dibuka Madrasah Muballighin dan Muballighat. Pada tahun 1957 dibuka Madrasah Mu’allimin 6 tahun dan Madrasah Mu’allimat 6 tahun. Keduanya merupakan perubahan dari Madrasah NWDI dan NBDI. Dua tahun kemudian, pada tahun 1959, diresmikan berdirinya Madrasah Menengah Atas [MMA], Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, dan Pendidikan Guru Agama Lengkap [PGAL].
Perkembangan selanjutnya ditandai dengan dibukanya lembaga pendidikan tinggi. Dimulai pada tahun 1964, dengan didirikannya Akademi Paedagogik Nahdlatul Wathan. Selanjutnya pada tahun 1965 dibuka Ma’had Darul Qur’an Wal Hadits A1-Madjidiyah Asy-Syafi’iyyah Nahdlatul Wathan, yang mahasiswanya khusus pria dan Ma’had lil Banat yang dibuka pada tahun 1974, dengan mahasiswa khusus perempuan. Pada tahun 1977 didirikan Universitas HAMZANWADI.
Universitas yang disebut terakhir di atas, pada mulanya membuka dua fakultas, yakni Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Ilmu Pendidikan. Dalam perkembangan selanjutnya, Fakultas Ilmu Pendidikan ini berubah menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan [STKIP] HAMZANWADI dan Fakultas Tarbiyah dirubah menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah [STIT]. Kemudian pada tahun 1981 dibuka Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah [STIS], dan pada tahun 1987 dibuka Sekolah Tinggi Ilmu Hukum [STIH].
Pada tahun akademik 1987/1988 diresmikan berdirinya Universitas Nahdlatul Wathan yang berkedudukan di Mataram, Ibukota Propinsi Nusa Tenggara Barat. Untuk tahap pertama dibuka 4 [empat fakultas], yaitu Fakultas Teknologi Pertanian, Fakultas Perkebunan, Fakultas Ketatanegaraan dan Ketataniagaan [FKK], dan Fakultas Sastra [Indonesia, Arab, dan Inggris].
Disamping pendidikan tinggi, pada tahun 1974 mulai dibuka pendidikan umum, seperti Sekolah Menengah Pertama [SMP], Sekolah Menengah Atas [SMA], sekolah kejuruan, yakni Sekolah Pendidikan Guru [SPG].
Di luar madrasah, sekolah, maupun perguruan tinggi, para santri Madrasah NWDI dan NBDI melakukan kegiatan pendidikan kemasyarakatan yang diberi nama Pemberantasan Buta Agama [PBA]. Pendidikan ini dikhususkan bagi anggota masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi mengikuti pendidikan formal kemadrasahan.
Perkembangan dibidang kurikulum, semenjak perubahan kurikulum tingkat Tahdliriyyah NWDI terus berlangsung, sehingga terbentuk komposisi, sebagai berikut:
- Madrasah dan PGA mengikuti kurikulum dari Departemen Agama.
- Sekolah umum mengikuti kurikulum yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan [Sekarang Departemen Pendidikan Nasional]
- Madrasah Mu’allimin dan Mu’allimat menggunakan kurikulum agama 55 % dan umum 45 %.
- Perguruan proyek khusus Nahdlatul Wathan memakai kurikulurn agama 90 % dan umum 10 %.
- Perguruan tinggi mengacu kepada kurikulum yang ditetapkan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan kurikulum yang ditetapkan oleh Direktorat Kelembagaan Agama Islam [Bagais] Departemen Agama.
Satu ciri khas pendidikan di lingkungan Nahdlatul Wathan, disamping menggunakan kurikulum agama, sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah, juga diberi pengetahuan agama, yang bersumber dari kitab-kitab karangan Imam Syafi’i. Hal ini sesuai dengan Anggaran Dasar bahwa Nahdlatul Wathan menganut mazhab Syafi’i, maka pengetahuan agama dan kitab-kitab Syafi’i adalah untuk diamalkan di kalangan warga Nahdlatul Wathan. Di samping itu juga diberikan materi pelajaran Ke Nahdlatul Wathan-an [Ke-NW-an] sebagai suatu materi pelajaran tersendiri di lingkungan perguruan Nahdlatul Wathan pada umumnya.
Pesatnya perkembangan Madrasah di lingkungan Nahdlatul Wathan, membenikan citra tersendiri bagi pendirinya. Sehingga mendapat julukan sebagai Abu Al-Madaris Wa Al-Masajid [Bapak Madrasah dan Mesjid] oleh komunitas masyarakat Praya, Lombok Tengah.
MENDIRIKAN ORGANISASI NAHDLATUL WATHAN [NW]
1. Pengertian dan Latar Belakang Berdirinya
Organisasi Nahdlatul Wathan, yang selanjutnya disingkat NW, adalah sebuah organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak dalam bidang pendidikan, sosial, dan dakwah Islamiyah. Onganisasi ini didirikan oleh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid pada hari Ahad tanggal, 15 Jumadil Akhir 1372 H bertepatan dengan tanggal 1 Maret 1953 M di Pancor Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Adapun yang melatar belakangi berdirinya organisasi ini adalah karena melihat pertumbuhan dan perkembangan cabang-cabang Madrasah NWDI dan NBDI yang begitu pesat, di samping perkembangan aktivitas sosial lainnya, seperti majlis dakwah dan majlis ta’lim dan lainnya. Untuk itu diperlukan suatu wadah atau organisasi yang mewadahi dan mengorganisir segala macam bentuk kebutuhan dan keperluan pengelolaan lembaga-lembaga tersebut secara profesional.
Kemudian dalam rangka konsolidasi organisasi, Nahdlatul Wathan telah melaksanakan rapat anggota untuk tingkat ranting, konfrensi untuk tingkat Anak Cabang, Cabang, Daerah, Wilayah dan Perwakilan. Sedangkan untuk tingkat Pengurus Besar diselenggaran muktamar.
Selanjutnya, setelah mengadakan muktamar I, hingga meninggalnya Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, organisasi Nahdlatul Wathan tercatat telah mengadakan muktamar sebanyak 10 kali. Adapun tempat, tanggal dan tahun terselenggaranya Muktamar tersebut, adalah sebagai berikut :
1. Muktamar I tanggal 22-24 Agustus 1954 di Pancor
2. Muktamar II tanggal 23-26 Maret 1957 di Pancor
3. Muktamar III tanggal 25-27 Januari 1960 di Pancor
4. Muktamar IV tanggal 10-14 Agustus 1963 di Pancor
5. Muktamar V tanggal 29 Juli .- 1 Agustus 1966 di Pancor
6. Muktamar VI tanggal 24-27 September 1969 di Mataram
7. Muktamar VII tanggal 30 Nopember – 3 Desember 1973 di Mataram
8. Muktamar Kilat Istimewa 28-30 Januari 1977 di Pancor
9. Muktamar VIII tanggal 24-25 Februari 1986 di Pancor
10. Muktamar IX tanggal 3-6 Juli 1991 di Pancor
2. Legalitas Organisasi
Sebagai sebuah organisasi formal, eksistensi Nahdlatul Wathan mendapatkan legalitas yuridis formal berdasarkan akte Nomor 48 tahun 1957 yang dibuat dan disahkan oleh Notaris Pembantu Hendrix Alexander Malada di Mataram. Akte ini bersifat sementara, karena wilyah yurisdiksinya hanya di Pulau Lombok, sehingga tidak memungkinkan untuk mengembangkan organisasi ke luar wilayah yurisdiksi tersebut.
Untuk itu, dibuat akte nomor 50, tanggal 25 Juli 1960, di hadapan Notaris Sie Ik Tiong di Jakarta. Kemudian pengakuan dan penetapan juga diberikan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. J.A.5/105/5 tanggal 17 Oktober 1960, dan dibuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 90, tanggal 8 November 1960.
Dengan legalitas akte kedua ini, maka organisasi Nahdlatul Wathan mempunyai kekuatan hukum tetap untuk mengembangkan organisasinya ke seluruh wilayah negara Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke, sehingga setelah tahun 1960, maka terbentuklah pengurus Nahdlatul Wathan di Bali, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta, Kalimantan, Sulawesi, danlain-lainnya, bahkan sampai ke daerah Riau dengan status perwakilan.
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985 tentang keormasan yang antara lain berisi tentang penerapan Asas Tunggal bagi semua organisasi kemasyarakatan, maka Nahdlatul Wathan dalam Muktamar ke-8 di Pancor, Lombok Timur pada tanggal 15-16 Jumadil Akhir 1406 H atau tanggal 24-25 Februari 1986 mengadakan peninjauan dan penyempurnaan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi. Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga ini kemudian dikukuhkan dengan Akte Nomor 3l tanggal 15 Februari 1987 dan Akte Nomor 32, juga tanggal 15 Februari 1987, yang dibuat dan disahkan oleh waki1 Notaris Sementara Abdurrahim, SH. di Mataram. Dengan demikian, maka jelaslah eksistensi dan legalitas formal organisasi Nahdlatul Wathan sebagai sebuah organisasi sosial kemasyarakatan.
3. Aqidah, Asas, Tujuan dan Ruang Lingkup Organisasi
Organisasi Nahdlatul Wathan menganut faham aqidah Islam Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah ‘ala Madzahib al-Iman al-Syafi’i dan berasaskan Pancasila sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985. Sejak awal berdirinya, organisasi berasaskan Islam dan kekeluargaan. Asasnya berlaku hingga Muktamar ke-3, dan kemudian diganti dengan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah ‘ala Madzahib al-Iman al-Syafi’i. Perubahan ini terjadi mengingat khittah perjuangan kedua madrasah induk, NWDI dan NBDI.
Adapun sebagai landasan argumentasi Nahdlatul Wathan menganut aqidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah ‘ala Madzahib al-Iman al-Syafi’i adalah sebagai berikut :
1. Sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwiyatkan oleh Imam Tirmidzi dan Imam al-Bukhari dalam Tarikh al-Kabir al-Baihaqi dalam Syu‘ab al-Imam, Abu Dawud, Ibn Huzaimah, Ibn Hibban dan lain-lain yang artinya :
“Hendaklah kamu bersama golongan terbesar [mayoritas] dan pertolongan Allah selalu bersama golongan mayoritas, maka barang siapa yang memisahkan diri [dari komunitas jama’ah] maka mereka termasuk dalam golongan orang-orang ahli neraka.” [HR Tirmidzi].
“Allah tidak menghimpun ummat ini dalam kesesatan selama-lamanya dan pertolongan Allah selalu bersama golongan mayoritas.” [HR al-Thabrani].
2. Fakta sejarah menunjukkan bahwa mayoritas umat Islam sedunia dari abad ke abad adalah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dan bermadzhab dengan salah satu madzhab yang empat dari sejak lahir madzhab itu.
3. Umat Islam Indonesia sejak awal telah menganut aqidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dan menganut madzhab Syafi’i sejak madzhab masuk ke Indonesia.
4. Imam-Imam Hufadz al-Hadits yang telah hafal beratus-ratus ribu hadits yang diakui oleh kawan atau lawan akan keimanan, ketaqwaan dan keahilan mereka, serta karangan mereka telah menjadi pokok dan dasar pegangan umat Islam sedunia sesudah al-Qur’an al Karim, sepenti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Turmudzi, Imam Baihaqi, Imam Nasa’i, Imam Ibnu Majah, Imam Hakim dan lain-lainnya dan ratusan Imam ahli al-hadits. Semuanya menganut aqidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dan bermadzhah Syafi’i atau yang lainnya dari madzhah yang empat. Demikian juga dari Imam-imam dan ulama fiqh, ushul, tasawwul merekapun menganut aqidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dan juga bermadzhab.
5. Jumhur ulama ushul menandaskan bahwa orang yang belum sampai tingkatan ilmunya pada tingkatan mujtahid muthlaq maka wajib bertaqlid kepada salah satu madzhab empat dalam masalah furu’ syari’ah.
6. Fuqaha ‘Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah mengatakan bahwa bermadzhab bukanlah berarti membuang atau membelakangi al Qur’an dan Hadits seperti tuduhan sementara orang. Namun sebaliknya bermadzhab adalah benar-benar mengikuti Al-Qur’an dan Hadits karena kitab-kitab itu adalah syarah dan Al-Qur’an dan Hadits itu sendiri.
7. Imam Sayuti yang hidup pada awal abad 10 H yang terkenal sangat ahli dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan Islam. Karangan-karangan beliau kurang lebih 600 buah kitab, yang sangat penting dan bernilai tinggi dikalangan Islam. Beliau memperoleh gelar “Amir al-Mukminin Fi al-Hadits” [raja umat Islam dalam ilmu hadits] karena beliau telah menghafal ratusan ribu hadits. Pernah suatu ketika beliau menyatakan dirinya telah mencapai tingkat mujtahid dan terlepas dari madzhab yang diantaranya, yaitu madzhab Syafi’i. Maka segeralah beliau diserang oleh para Imam ulama’ fiqh, mufassir, muhaddits dan ahli ushul dengan alasan dan dalil yang sangat jitu dan tepat. Akhirnya beliau dengan jujur dan penuh kesadaran mencabut pernyataannya dan kembali bertaqlid serta bermadzhab dengan madzhab Syafi’i.
8. Madzhab Syafi’i dilihat dari segi sumber atau dasarnya, lebih unggul dibandingkan dengan madzhab-madzhab yang lain.
Sedangkan tujuan organisasi ini adalah Li I’laai Kalimatillah wa Izzi al-Islam wa al-Muslimin dalam rangka mencapai keselamatan serta kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat sesuai dengan ajaran Islam Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah ‘ala Madzahib al-Iman al-Syafi’iRadliyallahu ‘anhu. Tujuan ini merupakan penggabungan dan tujuan organisasi dan asas organisasi sebelum Undang-Undang Nomor 8 tahun 1985 diberlakukan. Peserta Muktamar ke-8 menghendaki agar asas organisasi terdahulu tidak dihilangkan dengan adanya ketentuan Asas Tunggal. Kompromi yang dapat dilakukan adalah memindahkan pernyataan tentang asas Islam tersebut ke dalam tujuan organisasi, sehingga makna esensial asas tersebut tidak hilang.
4. Lambang Organisasi
Lambang Organisasi Nahdlatul Wathan adalah “Bulan Bintang Bersinar Lima”, dengan warna gambar putih dan warna dasar hijau. Lambang ini memliki makna, sebagai berikut :
a) Bulan melambangkan Islam
b) Bintang melambangkan Iman dan Taqwa
c) Sinar Lima melambangkan Rukun Islam
d) Warna gambar putih melambangkan ikhlas dan istiqomah
e) Warna dasar hijau melambangkan selamat bahagia dunia akhirat
5. Badan-Badan Otonom Organisasi
Organisai Nahdlatul Wathan merupakan organisasi kader, yang memiliki badan-badan otonom sebagai wahana pengkaderan bagi kader-kader organisasi di masa depan. Badan-badan otonom tersebut, terdiri dari:
1. Muslimat Nahdlatul Wathan [Muslimat NW]
2. Pemuda Nahdlatul Wathan [Pemuda NW]
3. Ikatan Pelajar Nabdlatul Wathan [IPNW]
4. Himpunan Mahasiswa Nahdlatul Wathan [HIMMAH NW)
6. Persatuan Guru Nahdlatul Wathan [PGNW]
7. Jam’iyyatul Qura’ wal Huffazh Nahdlatul Wathan
8. Ikatan Sarjana Nahdlatul Wathan [ISNW]
9. Ikatan Puteri Nahdlatul Wathan [Nahdliyat NW], dan
10. Badan Pengkajian, Penerangan dan Pengembangan Masyarakat Nahdlatul Wathan [BP3M]
Badan-badan otonom ini masing-masing mempunyai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang tidak boleh bertentangan dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Organisasi Nahdlatul Wathan. Badan-badan otonom ini bilamana hendak mengadakan hubungan atau tindakan keluar harus terlebih dahulu mendapat persetujuan Pengurus Besar dan restu Dewan Mustasyar Pengurus Besar.
0 Response to "TGKH. M. Zainuddin Abd. Majid"
Post a Comment