HUKUMAN GURU: JANGAN DIPIDANA
Tuesday, January 9, 2018
Add Comment
HUKUMAN GURU: JANGAN DIPIDANA
(Catatan untuk Hari Guru)
Oleh : Mugni Sn.
(M.Pd.,M.Kom.,Dr.)
(Anggota
Komisi VI Dewan Riset Daerah NTB)
Tanggal
25 Nopember telah disepakati sebagai Hari Guru Nasional. Konfensi di negeri ini
setiap hari besar nasional diperingati dengan berbagai eksperesi. Dalam
peringatan Hari Guru Nasional setiap tahun berbagai ekspersi ditampilkan untuk
memperingatinya. Pada umumnya dengan mengadakan apel bendera dan para guru
menggunakan pakain kebesaranya, yakni kostum PGRI. Ada juga berbagai kegiatan
yang dilakoni oleh anak-anak di sekolah. Ada pengajian dengan mengundang ustad.
Ada istigosah dan doa bersama. Ada lomba-lomba. Dan, ada juga pemilihan guru
vaforit dengan krteria yang dibuat sendiri oleh siswa. Guru terrajin, terdisiplin,
terrapi, terhumor, termudah dipahami penjelasannya, tergaul, dan lain-lain.
Tetapi tidak ada kreteria terkusam, termalas, ternorak, dan hal-hal lain yang
berkonotasi jelek. Tidak ada itu. Dan, semoga juga tidak ada yang membuat
kreteria tercakep dan tercantik. Anak-anak memberikan penghargaan kepada
gurunya yang terpilih dengan kretria
baik-baik itu. Tentu mereka menggunakan teori-teori yang telah diberikan oleh
guru bahasanya atau guru pembimbing ekstrakurikuler karya ilmiah. Mereka
menyebarkan angket dan atau mewawancarai teman-temannya. Tentunya dengan
pendekatan sampiling sesuai dengan teori Suharsimi Arikunto sepertinya.
Untuk
peringatan Hari Guru Nasional 2017, di grur-gruf media sosial sangat banyak
yang menshare tentang pandangan HAM
terhadap hukuman yang diberikan oleh seorang guru terhadap muridnya. Persoalan
hukum yang dihadapi oleh seorang guru SD di Sumatera Selatan yang dituntun di
pengadilan gara-gara menghukum (mencubit) muridnya dan orang tua melaporkan ke
pihak berwajib. Sang guru dituntun di
pengadilan tetapi hakim membebaskannya. Ternyata hakim itu muridnya di
SD. Tetapi sanga guru tidak lagi mengenal muridnya yang telah menjadi halkim.
Pak hakim pasti masih mengenal gurunya. Kalau ada murid yang tidak mengenal
gurunya itu keterlaluan. Kalau guru tidak mengenal murinya itu hal yang sangat
wajar. Karena satu kelas 40 orang dan sudah sangat banyak murid yang diajar
oleh sang guru. Bayangkan kalu guru SD. Zaman dulu untuk menjadi PNS guru
sepetinya tidak sulit karena tidak banyak orang yang bisa masuk SPG. Alumni SPG
begitu tamat langsung mengajar di SD. Bila tamat SPG saat berumur 19 tahun maka
saat berumur 19 tahun juga yang bersangkutan telah menjadi guru. Bila pensiun
umur 60 tahun maka sanga guru aka mengajar selama 41 tahun. Bila perkelas 40
orang maka untuk guru SD selama 41 tahun, yang bersangkutan telah mengajar
1.640 orang murid. Bila sang guru SD yang berkasus di Sumatera Selatan saat ini
berumur 55 tahun maka yang bersangkutan telah mengajar selam 36 tahun, 1.440
murd SD yang telah dididik. Di samping itu sangat wajar bila seorang guru tidak
mengenal muridnya. Kala di ajar dulu sang mirid masih imut. Kali juga masih
idusan. Pasti juga belum berkumis.
Setelah 30 tahun tidak bertemu. Sang murid sudah kumisan. Bahkan kumisnya sudah
ada yang putih. Dulu pakiannya lusuh. Sekarang pakai jas. Pakai dasi. Bahkan
pakai toga karena profesinya sebagai hakim dan menyidangkan perkara di ruang
sidang yang sangat berwibawa.
Pak
Hakim contoh murid teladan, begitu palu telah diketok langsung turun dari meja
sidangnya menghapiri sang guru yang menjadi terdakwah langngsung mencium tangan
sang terdakwah. Pak guru yang menjadi terdakwah kaget. Pak halim berbisik, “
Saya murid bapak di SD dulu. Gara-gara hukuman yang Bapak berikan kepada kami,
supaya kami menjadi disiplin dan tahu sopan satun dan saya menjadi seperti
ini”. HAM hanya berbicara bila guru menghukum fisik murid-muridnya tetapi sepi
dan tidak benapas bila murid-murid menjadi nakal, terlibat narkoba, menjadi
pelacuran karena gaya hidup, geng motor, tauran, dan lain-lain sifat-sifat
jelak. Bahkan kejelakan-kejelakn yang dilakoni oleh murid ditimpakan kepada
sekolah dan guru. Guru mau mendidik, dipidanakan. Akhirnya mengajar saja. Isi
otak saja. Hati dan jiwa biarkan kosong dan menjadi urusan orang tua. Apakah
ini yang diinginkan oleh HAM...???
Undang-Undang
Guru dan Dosen telah menempatkan guru sebagai tenaga profesional pada jenjang
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dinia pada
jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Kedudukan sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dan
peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu
pendidikan nasional. Kedudkan guru sebagai tenaga profesional bertujuan
untuk melaksanakan sistem pendidikan
nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta
menjadi warga negara yang demokratis dan bertangung jawab.
Pasal
7 Undang-Undang Guru dan Dosen menegaskan bahwa profesi guru merupakan bidang
pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip, (a)
memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; (b) memiliki
komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak
mulia; (c) memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai
dengan tugas; (d) memiliki komptensi
yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; (e) memiliki tanggung jawab atas
pelaksanaan tugas keprofesionalan; (f) memperoleh penghasilan yang ditentukan
sesuai dengan prestasi kerja; (g) memiliki kesempatan untuk mengembangkan
keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepajang hayat; (h)
memiliki jamian perlindingan hukum dalam melaksnakan tugas keprofesionalan; dan
(i) memilki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang
berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
Pasal
7 undang –Undang Guru dan dosen telah memberikan gransi bahwa pekerjaan sebagi
guru meruakan pekerjaan khusus yang tidak sembarang orang dapat mengerjakannya.
Sebagai pekerjaan profesional maka padanya diberikan kewajiban yang melekat
untuk melahirkan peserta didik yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.
Untuk mewujudkan tugas-tugas ini maka seorang guru bertugas sebagai pendidik.
Pendididk, di samping mentrasper ilmu juga mentrasnper nilai-nilai dan budaya.
Untuk hal ini masing-masing guru yang paling tau cara dan pendekatannya.
Hukuman
yang diberikan oleh seorang guru atas perilaku muridnya yang akhir-akhir ini
telah banyak dilaporkan oleh orang tua murid tentu bukan dengan ba...bi..bu.
Tetapi melalui proses yang sangat panjang. Cobalah teliti dan cobalah kaji
bahwa anak-anak yang diberikan hukuman oleh guru di sekolah pasti anak-anak
yang nakal. Bahkan anak-anak yang sudah tidak bisa dinasihati dengan mulut.
Untuk itu, supaya mereka jera berbuat tidak baik maka hukuman fisiklah yang
harus diberikan. Guru memberikan hukunan fisik bukan karena benci tetapi karena
sayang supaya anak muridnya menjadi
orang baik.
Dalam
Mugni (2015) ditegaskan bahwa dalam dunia pendidikan memberikan hukuman itu sah
bukan dilarang. Dalam fakta yang ada, tidak ada seorang guru pun yang memberikan
hukuman kepada anak-anak yang penurut, taat, dan baik. Pasti hukuman itu
diberikan kepada anak-anak yang kenakalannya sudah tidak dapat diatasi dengan
“mulut”. Akhirnya guru/kepala sekolah hilang kesabaran dan terpaksa “menasehati
dengan tangan”. Aturan tidak bisa tegak bila tidak ada hukuman. Pendidikan pada
dasarnya memaksa. Dari keterpaksaan melahirkan kebiasaan. Dari pembiasaan akan
melahirkan kebutuhan. Kebiasaan dan kebutuhan inilah yang akan menajdi goal dalamn proses pendidikan.
Dalam
melaksanakan tugasnya seorang guru mendaptkan jamin perlindungan hukum sepeti
dikemukan di atas, yakni memiliki jamian perlindingan hukum dalam melaksanakan
tugas keprofesionalan. Pemberian hukuman kepada murid-murid yang melanggar
aturan dilakukan oleh seorang guru serangkaian dengan pelaksanaan tugasnya
sebagai tenaga profesional. Bukankah hukuman itu diberikan di sekolah. Bukan di
jalan dan bukan pula di rumah murid atau di rumah guru. Seharusnya guru-guru
mendaptkan hak imunitas seperti anggota DPR...??? Bila kita sadar bahwa
mendidik itu tidak gampang maka seharusnya semua pihak memberikan dukungan
kepada seluruh proses pendidikan yang dilakukan oleh guru/sekolah. Pendidikan
adalah tanggung jawab berama. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional harus
bersinergi antara pemerintah, sekolah (guru), dan masyarakat (orang tua murid).
Cobalah kita renungkan kembali pesan Nabi dalam sebuah hadiatnya, “Ajaklah
anak-anakmu mengerjakan sholat saat mereka berumur tujuh tahun, bila telah
berumur sepuluh tahun tetapi mereka melalaikannya maka pukullah mereka”. Sejak
umur tujuh tahun anak-anak harus dilatih untuk berbuat baik. Tiga tahun mereka
harus dilatih dan didik dengan sabar.
Setelah masa tiga tahun berlalu maka hukuman fisik sah ditimpakan kepada mereka
bila tidak melakukannya. Hal ini bisa dijadikan komparatif bagi guru-guru dalam
menerapkan hukuman fisik bagi murid-muridnya. Orang tua harus menyadari bahwa
tugas mendidik tidak mudah. Harapan orang tua/guru/sekolah untuk mencetak
putra-putri yang berakhlak mulia sebagai produk pendidikan jangan dihalangi
oleh konsep-konsep HAM produk barat. Wallahuaklambissawab.
0 Response to "HUKUMAN GURU: JANGAN DIPIDANA"
Post a Comment