HUKUMAN GURU: JANGAN DIPIDANA

HUKUMAN GURU: JANGAN DIPIDANA
(Catatan untuk Hari Guru)
Oleh :  Mugni Sn. (M.Pd.,M.Kom.,Dr.)
(Anggota Komisi VI Dewan Riset Daerah  NTB)

Tanggal 25 Nopember telah disepakati sebagai Hari Guru Nasional. Konfensi di negeri ini setiap hari besar nasional diperingati dengan berbagai eksperesi. Dalam peringatan Hari Guru Nasional setiap tahun berbagai ekspersi ditampilkan untuk memperingatinya. Pada umumnya dengan mengadakan apel bendera dan para guru menggunakan pakain kebesaranya, yakni kostum PGRI. Ada juga berbagai kegiatan yang dilakoni oleh anak-anak di sekolah. Ada pengajian dengan mengundang ustad. Ada istigosah dan doa bersama. Ada lomba-lomba. Dan, ada juga pemilihan guru vaforit dengan krteria yang dibuat sendiri oleh siswa. Guru terrajin, terdisiplin, terrapi, terhumor, termudah dipahami penjelasannya, tergaul, dan lain-lain. Tetapi tidak ada kreteria terkusam, termalas, ternorak, dan hal-hal lain yang berkonotasi jelek. Tidak ada itu. Dan, semoga juga tidak ada yang membuat kreteria tercakep dan tercantik. Anak-anak memberikan penghargaan kepada gurunya yang  terpilih dengan kretria baik-baik itu. Tentu mereka menggunakan teori-teori yang telah diberikan oleh guru bahasanya atau guru pembimbing ekstrakurikuler karya ilmiah. Mereka menyebarkan angket dan atau mewawancarai teman-temannya. Tentunya dengan pendekatan sampiling sesuai dengan teori Suharsimi Arikunto sepertinya.
Untuk peringatan Hari Guru Nasional 2017, di grur-gruf media sosial sangat banyak yang menshare tentang pandangan HAM terhadap hukuman yang diberikan oleh seorang guru terhadap muridnya. Persoalan hukum yang dihadapi oleh seorang guru SD di Sumatera Selatan yang dituntun di pengadilan gara-gara menghukum (mencubit) muridnya dan orang tua melaporkan ke pihak berwajib. Sang guru dituntun di  pengadilan tetapi hakim membebaskannya. Ternyata hakim itu muridnya di SD. Tetapi sanga guru tidak lagi mengenal muridnya yang telah menjadi halkim. Pak hakim pasti masih mengenal gurunya. Kalau ada murid yang tidak mengenal gurunya itu keterlaluan. Kalau guru tidak mengenal murinya itu hal yang sangat wajar. Karena satu kelas 40 orang dan sudah sangat banyak murid yang diajar oleh sang guru. Bayangkan kalu guru SD. Zaman dulu untuk menjadi PNS guru sepetinya tidak sulit karena tidak banyak orang yang bisa masuk SPG. Alumni SPG begitu tamat langsung mengajar di SD. Bila tamat SPG saat berumur 19 tahun maka saat berumur 19 tahun juga yang bersangkutan telah menjadi guru. Bila pensiun umur 60 tahun maka sanga guru aka mengajar selama 41 tahun. Bila perkelas 40 orang maka untuk guru SD selama 41 tahun, yang bersangkutan telah mengajar 1.640 orang murid. Bila sang guru SD yang berkasus di Sumatera Selatan saat ini berumur 55 tahun maka yang bersangkutan telah mengajar selam 36 tahun, 1.440 murd SD yang telah dididik. Di samping itu sangat wajar bila seorang guru tidak mengenal muridnya. Kala di ajar dulu sang mirid masih imut. Kali juga masih idusan. Pasti juga  belum berkumis. Setelah 30 tahun tidak bertemu. Sang murid sudah kumisan. Bahkan kumisnya sudah ada yang putih. Dulu pakiannya lusuh. Sekarang pakai jas. Pakai dasi. Bahkan pakai toga karena profesinya sebagai hakim dan menyidangkan perkara di ruang sidang yang sangat berwibawa.
Pak Hakim contoh murid teladan, begitu palu telah diketok langsung turun dari meja sidangnya menghapiri sang guru yang menjadi terdakwah langngsung mencium tangan sang terdakwah. Pak guru yang menjadi terdakwah kaget. Pak halim berbisik, “ Saya murid bapak di SD dulu. Gara-gara hukuman yang Bapak berikan kepada kami, supaya kami menjadi disiplin dan tahu sopan satun dan saya menjadi seperti ini”. HAM hanya berbicara bila guru menghukum fisik murid-muridnya tetapi sepi dan tidak benapas bila murid-murid menjadi nakal, terlibat narkoba, menjadi pelacuran karena gaya hidup, geng motor, tauran, dan lain-lain sifat-sifat jelak. Bahkan kejelakan-kejelakn yang dilakoni oleh murid ditimpakan kepada sekolah dan guru. Guru mau mendidik, dipidanakan. Akhirnya mengajar saja. Isi otak saja. Hati dan jiwa biarkan kosong dan menjadi urusan orang tua. Apakah ini yang diinginkan oleh HAM...???
Undang-Undang Guru dan Dosen telah menempatkan guru sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dinia pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kedudukan sebagai tenaga profesional  berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Kedudkan guru sebagai tenaga profesional bertujuan untuk  melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertangung jawab.
Pasal 7 Undang-Undang Guru dan Dosen menegaskan bahwa profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip,  (a)   memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; (b) memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia; (c) memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan tugas; (d)  memiliki komptensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; (e) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan; (f) memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja; (g) memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepajang hayat; (h) memiliki jamian perlindingan hukum dalam melaksnakan tugas keprofesionalan; dan (i) memilki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.
Pasal 7 undang –Undang Guru dan dosen telah memberikan gransi bahwa pekerjaan sebagi guru meruakan pekerjaan khusus yang tidak sembarang orang dapat mengerjakannya. Sebagai pekerjaan profesional maka padanya diberikan kewajiban yang melekat untuk melahirkan peserta didik yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Untuk mewujudkan tugas-tugas ini maka seorang guru bertugas sebagai pendidik. Pendididk, di samping mentrasper ilmu juga mentrasnper nilai-nilai dan budaya. Untuk hal ini masing-masing guru yang paling tau cara dan pendekatannya.
Hukuman yang diberikan oleh seorang guru atas perilaku muridnya yang akhir-akhir ini telah banyak dilaporkan oleh orang tua murid tentu bukan dengan ba...bi..bu. Tetapi melalui proses yang sangat panjang. Cobalah teliti dan cobalah kaji bahwa anak-anak yang diberikan hukuman oleh guru di sekolah pasti anak-anak yang nakal. Bahkan anak-anak yang sudah tidak bisa dinasihati dengan mulut. Untuk itu, supaya mereka jera berbuat tidak baik maka hukuman fisiklah yang harus diberikan. Guru memberikan hukunan fisik bukan karena benci tetapi karena sayang supaya  anak muridnya menjadi orang baik.
Dalam Mugni (2015) ditegaskan bahwa dalam dunia pendidikan memberikan hukuman itu sah bukan dilarang. Dalam fakta yang ada, tidak ada seorang guru pun yang memberikan hukuman kepada anak-anak yang penurut, taat, dan baik. Pasti hukuman itu diberikan kepada anak-anak yang kenakalannya sudah tidak dapat diatasi dengan “mulut”. Akhirnya guru/kepala sekolah hilang kesabaran dan terpaksa “menasehati dengan tangan”. Aturan tidak bisa tegak bila tidak ada hukuman. Pendidikan pada dasarnya memaksa. Dari keterpaksaan melahirkan kebiasaan. Dari pembiasaan akan melahirkan kebutuhan. Kebiasaan dan kebutuhan inilah yang akan menajdi goal dalamn proses pendidikan.
Dalam melaksanakan tugasnya seorang guru mendaptkan jamin perlindungan hukum sepeti dikemukan di atas, yakni memiliki jamian perlindingan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Pemberian hukuman kepada murid-murid yang melanggar aturan dilakukan oleh seorang guru serangkaian dengan pelaksanaan tugasnya sebagai tenaga profesional. Bukankah hukuman itu diberikan di sekolah. Bukan di jalan dan bukan pula di rumah murid atau di rumah guru. Seharusnya guru-guru mendaptkan hak imunitas seperti anggota DPR...??? Bila kita sadar bahwa mendidik itu tidak gampang maka seharusnya semua pihak memberikan dukungan kepada seluruh proses pendidikan yang dilakukan oleh guru/sekolah. Pendidikan adalah tanggung jawab berama. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional harus bersinergi antara pemerintah, sekolah (guru), dan masyarakat (orang tua murid). Cobalah kita renungkan kembali pesan Nabi dalam sebuah hadiatnya, “Ajaklah anak-anakmu mengerjakan sholat saat mereka berumur tujuh tahun, bila telah berumur sepuluh tahun tetapi mereka melalaikannya maka pukullah mereka”. Sejak umur tujuh tahun anak-anak harus dilatih untuk berbuat baik. Tiga tahun mereka harus dilatih  dan didik dengan sabar. Setelah masa tiga tahun berlalu maka hukuman fisik sah ditimpakan kepada mereka bila tidak melakukannya. Hal ini bisa dijadikan komparatif bagi guru-guru dalam menerapkan hukuman fisik bagi murid-muridnya. Orang tua harus menyadari bahwa tugas mendidik tidak mudah. Harapan orang tua/guru/sekolah untuk mencetak putra-putri yang berakhlak mulia sebagai produk pendidikan jangan dihalangi oleh konsep-konsep HAM produk barat.  Wallahuaklambissawab.






0 Response to "HUKUMAN GURU: JANGAN DIPIDANA"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel