WISATA HALAL vs MISS INDONESIA



WISATA HALAL vs MISS INDONESIA
Oleh :  Mugni Sn. (M.Pd.,M.Kom.,Dr.)
(Anggota Komisi VI DRD NTB)


Bagi masyarakat NTB yang  berlangganan koran atau rajin baca koran sekalipun koran bekas mungkin masih lekat dalam memori bahwa pada tahun 2015 Kementerian Pariwisata telah menetapkan tiga propinsi di Republik ini sebagai “Distinasi Wisata Syari’ah”. Ketiga propinsi ini adalah Aceh Darussalam, Sumatera Barat, dan Nusa Tenggara Barat. Implikasi dari penetapan ini bahwa anggaran Kemeterian Pariwsiata pada tahun 2015, 30 % dialokasikan untuk ketiga propinsi tersebut. Sekiranya anggaran Kementerian Pariwisata, satu triliun maka 300 M akan dialokasikan  hanya untuk ketiga propinsi tersebut.
Penetapan ketiga propinsi ini sebagai distinasi wisata syari’ah tentunya bukan asal-asalan. Pasti atas dasar kajian dan pertimbangan yang mantang. Dalam Mugni (2015 : 28) ditegaskan bahwa Aceh bertahun-tahun “melawan” pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) hanya karena ingin menerapkan syari’ah Islam di Bumi Tanah Rencong. Sementara Sumatera Barat sangat terkenal dengan nilai-nilai keislamannya. Warung Padang sangat terkenal. Bila ada kata Padang maka kaum muslimin tidak akan pernah ragu bahwa itu warung (rumah) makan milik orang Islam. Bila kita berada pada daerah-daerah yang umat muslimnya minoritas maka Warung Padang akan selalu dicari oleh umat muslim yang sedang berwisatata di daerah itu. Sebagai contoh di Pulau Dewata, wisatawan muslim akan ragu makan di sembarang warung/rumah makan. Ragu akan kehalalan makanan yang disajikan. Akan tetapi, bila telah menemukan Warung Padang, kekhawatiran itu akan sirna. Ini berarti bahwa Padang Sumatera Barat, identik dengan mulsim. Sementara Nusa Tenggara Barat yang terdiri atas dua pulau, yakni Lombok dan Sumbawa telah dilekatkan dengan berbagai label keislaman.
Pulau Lombok terkenal dengan Pulau Seribu Masjid. Kerjaan Islam Selaparang, tempat lahirnya organisasi Nahdlatul Wathan yang bercikal bakal dari pondok pesantren yang saat ini menaungi ratusan pondok pesantren di nusantara, dan lain-lain. Sementara Pulau Sumbawa terkenal dengan Kerajaan Islamnya dengan istilah kesultananan, sepeti Kesultanan Sumbawa, Kesultanan Dompu, dan Kesultanan Bima dan label-label keislaman lainnya. Penduduk asli dua pulau ini adalah Suku Sasak, Samawa, dan Suku Mbojo yang hampir 99,08 % muslim.   Dalam disertasi Mugni (2012), hanya 0,2 % penduduk asli Pulau Lombok menganut agama Budha. Mereka lari ke pegunungan saat terjadi pengislaman oleh Kerajaan Selaparang.
Berdasarkan fakta-fakta di atas sangatlah beralasan bila Kementerian Pariwisata menetapkan  NTB sebagai salah satu propinsi yang dijadikan pilot project pertama sebagai destinasi pariwisata syari’ah bersama dua daerah lainnya. Pariwisata syari’ah menghendaki seluruh aktivitas dunia pariwisata mencerminkan nilai-nilai Islam. Mulai dari transportasi, akomodasi, SDM, distiasi, atraksi, dan lain-lain. Untuk daerah NTB, keunggulan lain yang dimiliki bahwa saat top leader NTB adalah orang yang sangat paham/sangat mengerti konsep dan aplikasi dari nilai-nilai syari’ah maka yang bersangkutan diberikan gelar tuan guru atau kiyai dalam istilah nasional. Bahkan hampir seluruh top leader kabpaten/kota yang ada di Lombok adalah berlatar belakang pondok pesantren
Kebijakan Kementerian Pariwisita bagaikan gayung bersambung. Gubernu NTB yang hanya pendidikan dasarnya yang sekolah umum dan selanjutnya sampai gelar akademik tertinggi di dunia pesekolahan diraih di perguruan agama mengambil langkah-langkah strategis untuk mewujudkan misi pariwisata syariah yang pada tahap selanjutnay lebih ngetren dengan istilah pariwisata halal. Berbagai fasilitas terus dilengkapi untuk merealisasikan misi tersebut. Tentu bidikan wisatawannya harus diarahkan pada para wisatawan Timur Tengah. Untuk itu berbagai gerakan untuk menggaet itu terus diupayakan sehingga puncaknya NTB memperoleh penghargaan  internasional. NTB telah membuktikan diri menjadi propinsi yang layak untuk label itu. Dengan keberhasilannya meraih dua pengharagaan Internasional dalam bidang pariwsiata, yakni The World Best Halal Tourism Destination dan The World Best Honeymoon Destination. Penghargaan bergengsi dalam bidang pariwisata dunia Islam.
Penghargaan dunia terhadap pariwisata NTB telah membawa barokah bagi masyarakat NTB. Pemerintah pusat dan organisasi-organisasi kemasyarakatan, politik, profesi, dan lain-lain telah menjadikan NTB sebagai lokasi kegiatan-kegiatan yang berskala nasional. NTB menjadi lokasi peringatan Hari Pers Nasional, MTQ Nasional, Munas Parfi yang menyisakan masalah, Munas Himpunan  Pramuwisata Indonesia (HPI), Muktamar ICMI, Rapat Kerja Nasional Asosiasi Perguruan Tinggi Informati dan  Komputer (Rakernas APTIKOM), Pertemuan Mahasiswa Muslim Asean, dan lain-lain. 
 Pemerintah pusat di samping menjadikan NTB sebagai lokasi kegiatan pemerintahan berskala nasional tetapi yang lebih membanggakan bahwa NTB telah mendapat perguruan tinggi negeri bidang pariwsiata. Pada tahun 2016 Politeknik Pariwsiata Negeri Lombok telah mulai menerima mahasiswa baru. Perguruan tinggi negeri yang bernaung di bawah Kementerian Pariwisata. Perguruan tinggi ini menjadi investasi masa depan bagi generasi muda NTB yang akan bergelut di bidang pariwisata. Alumni perguruan tinggi ini akan mengelola pariwisata NTB dengan ilmu yang diperoleh. Bekerja dengan ilmu pasti hasilnya akan lebih baik untuk kepentingan banyak pihak dan jangka panjang. Konsep pariwsita halal atau syarai’ah tentu akan dikaji di dalam kampus ini dengan melibat para pakar dan pihak-pihak yang berkepentingan sehingga tidak ada lagi perdebatan yang tidak perlu.
Dalam skala nasional dan internasional NTB telah memperoleh branding dengan Wisata Halal. Branding Wisata Halal ini tentunya bidikan utama wisatawan macanegaranya dari Timur Tengah.  Untuk itu gerakan-gerakan promosi yang dilakukan haruslah mencermikan nilai-nilai syari’ah. Tetapi…masyarakat NTB dihentakkan dengan peristiwa yang kontara produktif dengan banding pariwisata halal atau syariah dengan munculnya juara Miss Indonesia yang mengatasnamakan dirinya utusan NTB padahal yang bersangkutan bukan orang NTB. Kecelenya lagi yang bersangkutan lahir dan besar di Bali. Bukankah selama ini banyak isu yang berseliweran tetang dunia pariwisata Bali dan NTB dalam fenomena positif dan negatif.  Namanya Achintya Holte Nilsen. Nama yang langka, unik, dan sangat asing bagi telinga orang NTB. Maklum orang NTB biasanya mendengar nama Siti Asiyah, Siti Zohrah, Murniyati, Fatmawati, Wulandari, dan sering juga mendengar Ni Kadek..., Ni Ketut..., Ni Wayan...karena komonitas nama-nama terakhir ini memang ada di NTB. Bila nama-nama tadi yang muncul pasti masyarakat NTB tidak terkejut.  Tetapi nama yang juara itu mungkin saja tidak pernah menginjakan kakinya di NTB. Klaim penitia penyelenggara bahwa yang bersangkutan ditunjuk oleh panitia mewakili NTB karena NTB tidak mempunyai wakil. Pemerintah NTB harus bangga karena daerahnya jadi terkenal...(Radar Lombok,25-26/4). Kok enak sekali ngomongnya...Untuk apa terkenal bila minjam..Untuk apa nilai UN sempurna kalau nyontek...Untuk apa kaya kalau ngutang...Untuk apa rumah mewah kalau  numpang..kan lebih baik rumah bambu tapi rumah kita... Pemerintan NTB  menolak dan tidak bangga dengan gelar terbaik kontes perempuan ini. Hatta yang bersangkutan orang NTB asli, sepertinya pemerintah NTB Cq Pak Gubernur tidak bangga karena ajang tersebut tidak sesuai dengan visi NTB yang Beriman dan Berdaya Saing. Di NTB pernah ada “Lomba Dansa Internasiona” di Senggi yang disponsori oleh Kementerian Pariwisata.  Lomba yang telah bebera waktu berjalan distop oleh TGB tidak lama setelah naik jadi gubernur karena visi promosi pariwisata NTB yang “mendatangkan barokah”. Untuk itu tidak boleh terlalu kasat mata bertentangan dengan aturan  agama. Saat itu, NTB belum bermimpi mendapatkan status Distinasi Pariwisata Syari’ah. Kalau sekarang NTB telah memilki legal standing untuk mengarahkan dunia pariwisatanya untuk sesuai dengan nilai-nilai syari’ah. Bila anak-anak perempuan  NTB mau ikut lomba kontes-kontesan, ikut saja Hijab Sunsik. Tu kan kren juga. Tu lomba, dunia akhiran pasti tidak ada cibiran.
Miss-miss ini memang kontra produktif dengan Bradding Pariwisata Halal karena kontes ini masih pro dan kontra di tengah-tengah masyrakat. Bukankah pada awal munculnya ajang ini di Republik mendapatkan penolakan yang sangat besar dari kalangan umat Islam karena memamerkan lekok-lekok tumbuh perempuan cantik. Sekalipun panitia bilang bahwa ajang ini akan mencari perempuan yang memilki 3 B (beauty, body, brain). Cantik, body aduhai  dan kepala berisi.  Dalam skala internasional ada sesi pemotretan dengan pakain renang. Pakaian renang….bagaimana rupanya….body-nya. Mereka yang menjadi jura terbaik dalam kontes ala Indonesia ini akan dikirim dalam kontes Miss Internasional. Di ajang ini....sering diberitakan di TV bahwa miss asal Indonesia tidak ikut dalam ajang sesi pakaian renang. Mengapa tidak ikut karena “takut’ akan mendapat cibiran di dalam negeri, “telah mengumbar aurat” di depan mata laki-laki yang menjadi juri atau potografer. Atau mungkin juga ribuan penonton. Tapi...bisa saja yang bersangkutan ikut tetapi diberitakan tidak ikut.
Gubernur NTB, dalam Radar Lombok (26/04) telah dengan tegas menolak yang bersangkutan mengatasnamkan mewakili NTB, “Tidak sembarang wakili NTB”. Sikap ini sangatlah tepat karena ini menyangkut prestise daerah. NTB tidak membutuhkan perempuan-perempuan yang memakai pakain tipis atau memakai pakain yang kekurangan bakal/kain. Pariwisata NTB tidak perlu dipromosikan dengan cara-cara seperti itu karena status Destinasi Wisata Halal penting untuk dipertahankan. Lebih-lebih lagi bila infonya benar bahwa wisatawan Timur Tengah lebih tajir dan lebih loroyal dalam berwisata. Wallahuaklam bissawab.







0 Response to "WISATA HALAL vs MISS INDONESIA"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel