WISATA HALAL vs MISS INDONESIA
Tuesday, January 9, 2018
Add Comment
WISATA HALAL vs MISS INDONESIA
Oleh : Mugni Sn.
(M.Pd.,M.Kom.,Dr.)
(Anggota
Komisi VI DRD NTB)
Bagi masyarakat NTB yang berlangganan koran atau rajin baca koran
sekalipun koran bekas mungkin masih lekat dalam memori bahwa pada tahun 2015
Kementerian Pariwisata telah menetapkan tiga propinsi di Republik ini sebagai
“Distinasi Wisata Syari’ah”. Ketiga propinsi ini adalah Aceh Darussalam,
Sumatera Barat, dan Nusa Tenggara Barat. Implikasi dari penetapan ini bahwa
anggaran Kemeterian Pariwsiata pada tahun 2015, 30 % dialokasikan untuk ketiga
propinsi tersebut. Sekiranya anggaran Kementerian Pariwisata, satu triliun maka
300 M akan dialokasikan hanya untuk
ketiga propinsi tersebut.
Penetapan ketiga propinsi ini sebagai distinasi
wisata syari’ah tentunya bukan asal-asalan. Pasti atas dasar kajian dan
pertimbangan yang mantang. Dalam Mugni (2015 : 28) ditegaskan bahwa Aceh
bertahun-tahun “melawan” pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) hanya karena ingin menerapkan syari’ah Islam di Bumi Tanah
Rencong. Sementara Sumatera Barat sangat terkenal dengan nilai-nilai
keislamannya. Warung Padang sangat terkenal. Bila ada kata Padang maka kaum
muslimin tidak akan pernah ragu bahwa itu warung (rumah) makan milik orang
Islam. Bila kita berada pada daerah-daerah yang umat muslimnya minoritas maka
Warung Padang akan selalu dicari oleh umat muslim yang sedang berwisatata di
daerah itu. Sebagai contoh di Pulau Dewata, wisatawan muslim akan ragu makan di
sembarang warung/rumah makan. Ragu akan kehalalan makanan yang disajikan. Akan
tetapi, bila telah menemukan Warung Padang, kekhawatiran itu akan sirna. Ini
berarti bahwa Padang Sumatera Barat, identik dengan mulsim. Sementara Nusa
Tenggara Barat yang terdiri atas dua pulau, yakni Lombok dan Sumbawa telah
dilekatkan dengan berbagai label keislaman.
Pulau Lombok terkenal dengan Pulau Seribu
Masjid. Kerjaan Islam Selaparang, tempat lahirnya organisasi Nahdlatul Wathan
yang bercikal bakal dari pondok pesantren yang saat ini menaungi ratusan pondok
pesantren di nusantara, dan lain-lain. Sementara Pulau Sumbawa terkenal dengan
Kerajaan Islamnya dengan istilah kesultananan, sepeti Kesultanan Sumbawa,
Kesultanan Dompu, dan Kesultanan Bima dan label-label keislaman lainnya. Penduduk
asli dua pulau ini adalah Suku Sasak, Samawa, dan Suku Mbojo yang hampir 99,08
% muslim. Dalam disertasi Mugni (2012),
hanya 0,2 % penduduk asli Pulau Lombok menganut agama Budha. Mereka lari ke
pegunungan saat terjadi pengislaman oleh Kerajaan Selaparang.
Berdasarkan fakta-fakta di atas sangatlah
beralasan bila Kementerian Pariwisata menetapkan NTB sebagai salah satu propinsi yang
dijadikan pilot project pertama
sebagai destinasi pariwisata syari’ah bersama dua daerah lainnya. Pariwisata
syari’ah menghendaki seluruh aktivitas dunia pariwisata mencerminkan
nilai-nilai Islam. Mulai dari
transportasi, akomodasi, SDM, distiasi, atraksi, dan lain-lain. Untuk daerah
NTB, keunggulan
lain yang dimiliki
bahwa saat
top
leader NTB adalah orang yang sangat paham/sangat mengerti konsep dan
aplikasi dari nilai-nilai syari’ah maka yang bersangkutan diberikan gelar tuan
guru atau kiyai dalam
istilah nasional. Bahkan hampir seluruh top
leader kabpaten/kota yang ada di Lombok adalah berlatar belakang pondok
pesantren
Kebijakan
Kementerian Pariwisita
bagaikan gayung bersambung. Gubernu NTB yang hanya pendidikan dasarnya yang
sekolah umum dan selanjutnya sampai gelar akademik tertinggi di dunia
pesekolahan diraih di perguruan agama mengambil langkah-langkah strategis untuk
mewujudkan misi pariwisata syariah yang pada tahap selanjutnay lebih ngetren dengan istilah pariwisata halal. Berbagai
fasilitas terus dilengkapi untuk merealisasikan
misi tersebut. Tentu bidikan wisatawannya harus diarahkan pada para wisatawan Timur
Tengah. Untuk itu berbagai gerakan untuk menggaet itu
terus diupayakan sehingga puncaknya NTB memperoleh penghargaan internasional. NTB telah membuktikan
diri menjadi propinsi yang layak untuk label itu. Dengan keberhasilannya meraih
dua pengharagaan Internasional dalam bidang pariwsiata, yakni The World Best Halal Tourism Destination dan
The World Best Honeymoon Destination. Penghargaan bergengsi dalam bidang pariwisata
dunia Islam.
Penghargaan dunia terhadap pariwisata NTB telah
membawa barokah bagi masyarakat NTB. Pemerintah pusat dan organisasi-organisasi
kemasyarakatan, politik, profesi, dan lain-lain telah menjadikan NTB sebagai
lokasi kegiatan-kegiatan yang berskala nasional. NTB menjadi lokasi peringatan
Hari Pers Nasional, MTQ Nasional, Munas Parfi yang menyisakan masalah, Munas
Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI), Muktamar
ICMI, Rapat Kerja Nasional Asosiasi Perguruan Tinggi Informati dan Komputer (Rakernas APTIKOM), Pertemuan
Mahasiswa Muslim Asean, dan lain-lain.
Pemerintah pusat di samping menjadikan NTB
sebagai lokasi kegiatan pemerintahan berskala nasional tetapi yang lebih
membanggakan bahwa NTB telah mendapat perguruan tinggi negeri bidang pariwsiata.
Pada tahun 2016 Politeknik Pariwsiata Negeri Lombok telah mulai menerima
mahasiswa baru. Perguruan tinggi negeri yang bernaung di bawah Kementerian
Pariwisata. Perguruan tinggi ini menjadi investasi masa depan bagi generasi
muda NTB yang akan bergelut di bidang pariwisata. Alumni perguruan tinggi ini
akan mengelola pariwisata NTB dengan ilmu yang diperoleh. Bekerja dengan ilmu
pasti hasilnya akan lebih baik untuk kepentingan banyak pihak dan jangka
panjang. Konsep pariwsita halal atau syarai’ah tentu akan dikaji di dalam
kampus ini dengan melibat para pakar dan pihak-pihak yang berkepentingan
sehingga tidak ada lagi perdebatan yang tidak perlu.
Dalam
skala nasional dan internasional NTB telah memperoleh branding dengan Wisata Halal. Branding Wisata Halal ini tentunya
bidikan utama wisatawan macanegaranya dari Timur Tengah. Untuk itu gerakan-gerakan promosi yang dilakukan haruslah mencermikan nilai-nilai syari’ah. Tetapi…masyarakat NTB dihentakkan dengan
peristiwa yang kontara
produktif dengan banding pariwisata halal
atau syariah dengan munculnya juara Miss Indonesia yang mengatasnamakan dirinya
utusan NTB padahal yang bersangkutan bukan orang NTB. Kecelenya lagi yang
bersangkutan lahir dan besar di Bali. Bukankah selama ini banyak
isu yang berseliweran tetang dunia pariwisata Bali dan NTB dalam fenomena
positif dan negatif. Namanya Achintya Holte Nilsen. Nama yang langka,
unik, dan sangat asing bagi telinga orang NTB. Maklum orang NTB biasanya
mendengar nama Siti Asiyah, Siti Zohrah, Murniyati, Fatmawati, Wulandari, dan
sering juga mendengar Ni Kadek..., Ni Ketut..., Ni Wayan...karena komonitas
nama-nama terakhir ini memang ada di NTB. Bila nama-nama tadi yang muncul pasti
masyarakat NTB tidak terkejut. Tetapi nama yang juara itu mungkin saja tidak pernah menginjakan kakinya di NTB. Klaim penitia
penyelenggara bahwa yang
bersangkutan ditunjuk oleh panitia mewakili NTB karena NTB tidak mempunyai
wakil. Pemerintah NTB harus bangga karena daerahnya jadi terkenal...(Radar Lombok,25-26/4). Kok enak sekali
ngomongnya...Untuk apa terkenal bila minjam..Untuk apa nilai UN sempurna kalau
nyontek...Untuk apa kaya kalau ngutang...Untuk apa rumah mewah kalau numpang..kan lebih baik rumah bambu tapi
rumah kita... Pemerintan
NTB menolak dan tidak bangga dengan
gelar terbaik kontes perempuan ini. Hatta yang bersangkutan orang NTB asli, sepertinya pemerintah NTB
Cq Pak Gubernur tidak bangga karena ajang tersebut tidak sesuai dengan visi NTB
yang Beriman dan Berdaya Saing. Di NTB pernah ada “Lomba Dansa Internasiona” di
Senggi yang disponsori oleh Kementerian Pariwisata. Lomba yang telah bebera waktu berjalan distop
oleh TGB tidak lama setelah naik jadi gubernur karena visi promosi pariwisata
NTB yang “mendatangkan barokah”. Untuk itu tidak boleh terlalu kasat mata
bertentangan dengan aturan agama. Saat
itu, NTB belum bermimpi mendapatkan status Distinasi Pariwisata Syari’ah. Kalau
sekarang NTB telah memilki legal standing
untuk mengarahkan dunia pariwisatanya untuk sesuai dengan nilai-nilai syari’ah.
Bila anak-anak perempuan NTB mau ikut
lomba kontes-kontesan, ikut saja Hijab Sunsik. Tu kan kren juga. Tu lomba,
dunia akhiran pasti tidak ada cibiran.
Miss-miss
ini memang kontra produktif dengan Bradding Pariwisata Halal karena kontes ini masih pro dan
kontra di tengah-tengah masyrakat. Bukankah pada awal munculnya ajang ini di Republik mendapatkan penolakan yang
sangat besar dari kalangan umat Islam karena memamerkan lekok-lekok tumbuh perempuan cantik. Sekalipun panitia bilang bahwa ajang ini akan mencari
perempuan yang memilki 3 B (beauty, body, brain). Cantik, body aduhai dan kepala berisi. Dalam skala internasional ada sesi pemotretan
dengan pakain renang. Pakaian renang….bagaimana rupanya….body-nya. Mereka yang menjadi jura
terbaik dalam kontes ala Indonesia ini akan dikirim dalam kontes Miss
Internasional. Di ajang ini....sering diberitakan di TV bahwa miss asal
Indonesia tidak ikut dalam ajang sesi pakaian renang. Mengapa tidak ikut karena
“takut’ akan mendapat cibiran di dalam negeri, “telah mengumbar aurat” di depan
mata laki-laki yang menjadi juri atau potografer. Atau mungkin juga ribuan
penonton. Tapi...bisa saja yang bersangkutan ikut tetapi diberitakan tidak
ikut.
Gubernur NTB, dalam Radar Lombok (26/04)
telah dengan tegas menolak yang bersangkutan mengatasnamkan mewakili NTB,
“Tidak sembarang wakili NTB”. Sikap ini sangatlah tepat karena ini menyangkut
prestise daerah. NTB tidak membutuhkan perempuan-perempuan yang memakai pakain
tipis atau memakai pakain yang kekurangan bakal/kain. Pariwisata NTB tidak
perlu dipromosikan dengan cara-cara seperti itu karena status Destinasi Wisata
Halal penting untuk dipertahankan. Lebih-lebih lagi bila infonya benar bahwa
wisatawan Timur Tengah lebih tajir dan lebih loroyal dalam berwisata. Wallahuaklam bissawab.
0 Response to "WISATA HALAL vs MISS INDONESIA"
Post a Comment